JAKARTA – Pengusaha berharap Menteri Keuangan Sri Mulyani menunda penerapan simplifikasi cukai rokok. Hal ini dikhawatirkan membuat pengusaha bangkrut karena kesulitan bersaing.
Adapun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, di mana pemerintah melakukan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer.
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan, simplifikasi akan melemahkan daya saing yang ujung-ujungnya mematikan pabrikan menengah kecil, dimulai dari golongan yang dihilangkan layernya karena harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi.
Baca Juga: Ratusan Ribu Batang Rokok Ilegal Disita di Jambi
Henry Najoan menambahkan, golongan yang naik ke atas, harus membayar cukai yang sangat tinggi, dan harga jual harus naik pada segmen yang sama yang membuat mereka harus menyiapkan modal yang besar. Selanjutnya, mereka juga harus bersaing dengan pabrikan besar yang sudah mapan.
“Ketidakmampuan bersaing dengan golongan besar akan membuat golongan menengah kecil gulung tikar,” ujar Henry Najoan, Senin (4/7/2022).
Selama ini golongan menengah kecil berkontribusi besar dalam penyerapan bahan baku tembakau dari petani lokal. Dengan gulung tikarnya kelompok tersebut, akan membuat tembakau petani lokal tidak terserap tembakaunya.
“Kondisi ini semakin menegaskan bahwa petani tembakau akan menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari kebijakan simplifikasi dan penggabungan,” tegas Henry.
Baca Juga: Waduh! Jumlah Perokok Indonesia Nomor 3 di Dunia
Henry Najoan juga menyoroti adanya wacana untuk melakukan simplifikasi berdasarkan jumlah produksi, dari batasan 3 milyar batang menjadi 2 milyar batang (quota reduction). Menurutnya, apapun bentuk simplifikasi dan penggabungannya, akan membuat IHT legal terutama menengah ke bawah akan mengalami kontraksi dan melemahkan daya saingnya.
Henry menegaskan, penurunan batasan produksi pada golongan I dari 3 miliar menjadi 2 miliar batang akan menciptakan gelombang kontraksi yang merugikan IHT legal golongan kecil dan menengah yang pada gilirannya juga berakibat negatif pada penerimaan negara secara keseluruhan dan dampak negatif ke sektor lain.
“Kami menolak wacana pengurangan batasan produksi. Kalau masih harus disibukkan dengan penyesuaian penggolongan, kami khawatir akan lebih banyak mudaratnya bagi pabrik rokok legal dibanding manfaatnya,” terang Henry Najoan.
Henry Najoan mensinyalir dorongan simplifikasi merupakan agenda tersembunyi perusahaan multi nasional yang tujuannya hanya menguntungkan satu perusahaan global.